Opini: Mencari Jalan Keluarnya dari Habitasi Demokrasi pada Perayaan Hari Lahir Pancasila

Oleh: Jose Da Conceicao Verdial

Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Timor di Kefamenanu, Timor Tengah Utara - Nusa Tenggara Timur (NTT)

Setiap tanggal 1 Juni, warga Indonesia merayakan Hari Kelahiran Pancasila, suatu peristiwa bersejarah yang dengan simbolis mengukuhkan kembali landasan filosofi bangsa.

Akan tetapi, pemberitahuan ini setiap tahun sering kali diisi dengan retoris formalistis yang bergaung dalam ruang publik namun belum tentu konsisten dengan praktik politik dan kehidupan sosial masyarakat.

Pancasila kerap kali dijadikan slogan yang disuarakan dengan luas, namun tidak jarang hilang efek perubahannya ketika diterapkan dalam keseharian.

Artikel ini dimulai dari ketidaknyamanan terhadap dua hal: (1) kesederhanaan slogan Pancasila dalam penerapan negara, serta (2) tertundanya penanaman nilai-nilai Pancasila di dalam struktur budaya demokrasi.

Menggunakan kerangka pemikiran sosiologis Pierre Bourdieu, esai ini akan mengeksplorasi bagaimana Pancasila dapat menjadi solusi untuk mengatasi krisis habitus demokrasi yang bersifat manipulatif dan elitist.

Banyak sambutan kenegaraan, Pancasila sering kali menjadi istilah kunci yang dinyatakan sebagai ideologi terakhir bagi negara ini.

Akan tetapi, di lapangan, Pancasila sering kali disederhanakan jadi ikon atau tagline tanpa adanya pemahaman mendalam.

Jean Baudrillard menamai fenomena tersebut sebagai simulakrum: saat simbol sudah tidak lagi beracuan pada kenyataan tetapi justru mengambil alih posisi kenyataan itu sendiri.

Hari ini Pancasila sudah berkembang menjadi sebuah bentuk simbolisasi di banyak bidang kehidupan bernegara. Meski sering kali kita temukan pada beragam spanduk, program pelajaran, serta sambutan-sambutan resmi, namun sayangnya ia kini terlihat kehilangan daya moral dan kemampuan untuk mengubah masyarakat.

Peristiwa ini nampak dengan jelas ketika prinsip-prinsip dari Pancasila, misalnya kesejahteraan sosial serta musyawarah, cuma dijadikan sebagai hiasan dalam pembicaraan-pembicaraan politik.

Saat hukum berubah menjadi senjata untuk menguasai, saat kemakmuran hanya dirasakan oleh sebagian kecil orang istimewa, dan saat suara penduduk dipinggirankan dalam area-area demokratis yang mestinya bebas, disitulah kita melihat Pancasila tidak lebih dari sekadar retorika formil.

Ironisnya, institusi-institusi yang semestinya menjadi pemimpin dalam penerapan Pancasila malah menjelma sebagai bukti langsung penyimpangan nilai-nilainya.

Kecurangan dalam lembaga perwakilan rakyat, mengerjakansukan pendidikan demi keuntungan bisnis, pemakaian kekuatan untuk mempertahankan ketertiban, dan mengesampingkan kelompok yang rentan menunjukkan bahwa semboyan Pancasila tidak secara otomatisk berubah jadi praktek sehari-hari.

Dalam tulisannya, Pierre Bourdieu memperkenalkan gagasan tentang habitus sebagai rangkaian pola pikir dan perilaku yang dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis dan lingkungan sosial, yang secara bersama-sama menciptakan tendensi individu untuk bertindak, merespons perasaan, serta berfikir.

Habitus tercipta lewat hubungan dominasi di dalam suatu bidang atau medan sosial tertentu. Demokrasi pasca-reformasi di Indonesia pada prinsipnya menyebutkan bahwa sistem tersebut didirikan atas dasar Pancasila, tetapi sebenarnya apa yang muncul justru merupakan habitus dengan ciri-ciri elitistis, bersifat pertukaran, dan dikuasai oleh segelintir orang saja.

Dalam konteks tersebut, praktik politik sudah berubah dari dasar prinsip diskusi atau dedikasi terhadap masyarakat menjadi berdasarkan logika kapital: kapital ekonomi, kapital sosial (networking), sampai kapital simbolis (misalnya gelar, posisi, dan keagamaan).

Demokrasi pemilihan juga terpengaruh oleh kapitalisasi suara, tempat orang yang dipilih tidak lagi dilihat dari kemampuan atau kejujuran mereka, melainkan kepada individu yang dapat mengeluarkan uang untuk mendapatkan dukungan publik.

Hal ini menghasilkan kesenjangan di antara ide ideal Pancasila dan perilaku sebenarnya dari para pemain politik. Masyarakat dikesampingkan sebagai subjek pertarungan kekuasaan, sedangkan elit bermain-main dengan demokrasi dalam drama pesta pemilihan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan berkurang, semakin sedikit warga yang ikut serta dalam diskusi politik secara kritis, dan sikap acuh terhadap urusan negara jadi lebih banyak ditemui. Semangat demokrasi pun meredup sementara Pancasila hanya dijadikan simbol belaka.

Supaya Pancasila tak sekadar jadi semboyan yang bersifat formalistik, diperlukan revitalisasi maknanya dari segi praktikal maupun filsafati.

Disinilah kita dapat memulai untuk menganggap Pancasila sebagai etika dalam kehidupan berpublik, bukannya hanya lambang resmi dari negara saja.

Etika publik mengharuskan penerimaan nilai-nilai Pancasila ke dalam pemahaman bersama dan perilaku kelompok, baik pada tingkat organisasi maupun personal.

Pancasila dianalogikan sebagai pedoman etika publik yang menentang penguasaan atas ritualisme simbolis semata. Malahan, konsep ini muncul sebagai fondasi bagi tindakan yang bersifat adil, terbuka, serta bermartabat di arena sosial.

Keadilan sosial tidak sekadar berkaitan dengan pembagian sumber daya ekonomi, melainkan juga mencakup keadilan simbolis dan budaya: siapakah yang diberikan hak berbicara, siapakah yang dipertimbangkan mewakili orang lain, serta siapakah yang diakui sebagai warga negara lengkap dalam struktur sosio-politis kita.

Implementasi Pancasila sebagai etika dalam kehidupan berpublik juga memerlukan penatauan ulang terhadap cara kerja demokrasi.

Demokrasi tidak sekadar pemilihan umum setiap lima tahun, melainkan merupakan partisipasi kritis sehari-hari yang mengizinkan warga negara berperan serta secara aktif dalam pembentukan kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya.

Pada kasus ini, musyawarah tidak sekadar menjadi formalitas dalam pertemuan, namun merupakan proses menciptakan konsensus lewat diskusi, kerja sama yang setara, serta menghargai perbedaan pendapat.

Seringkali, cerita mengenai Pancasila berasal dari pusat kekuasaan dan kurang mampu merepresentasikan pergerakan sosial-budaya di wilayah pedesaan.

Dalam situasi wilayah perbatasan sepeti Nusa Tenggara Timur, Pancasila malah lebih tampak sebagai harapan daripada kenyataan yang dijalani.

Ketersediaan layanan pendidikan, kesehatan, serta sarana dan prasarana dasar di daerah pedesaan masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan area perkotaan.

Walau ada pembatasannya, spirit demokrasi yang sesungguhnya tetap bertahan dalam wujud kerja sama antarwarga, persaudaraan masyarakat, serta kehormatan atas tradisi lokal.

Inilah tempat Pancasila ditemukan kembali relevansisnya, tidak lagi sebagai narasi negara, melainkan sebagai praktik hidup sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat umum.

Oleh karena itu, tanggung jawab negara adalah belajar dari rakyat, bukan hanya menyampaikan nilai-nilai Pancasila melalui pelajaran resmi dan acara-upacara bersifat ritualistik.

Merayakan Hari Kelahiran Pancasila seharusnya menjadi kesempatan untuk keluar dari jerat slogans yang dangkal dan beralih ke tindakan nyata dalam pemebebasan.

Demokrasi Pancasila yang kita cita-citakan merupakan demokrasi di mana masyarakat menjadi pelaku utama dalam urusan politik, tidak sekadar obyek dari persaingan pemilu. Hal ini mencakup pemberian kesempatan bagi partisipasi sungguhan, memastikan keadilan substansial, serta menghargai keragaman penduduk.

Perlu pula didirikannya lembaga-lembaga sosial untuk menguatkan etika dalam kehidupan bersama. Sebagai contoh, pendidikan seharusnya difokuskan pada pengembangan rasa kritis serta empati sosial, bukannya hanya menciptakan pekerja profesional.

Media seharusnya menjadi wadah untuk dialog yang masuk akal, bukan pemicu perpecahan. Sedangkan agama hendaknya menjadi dorongan bagi moralitas dalam masyarakat, bukannya sarana membenarkan kuasa.

Oleh karena itu, pembangunan demokrasi Pancasila perlu dilakukan secara serentak: mengembangkan struktur (perundangan, lembaga-lembaga, regulasi), budaya ( nilai-nilai, tindakan, kebiasaan), serta melibatkan manusia-manusia yang beretika sebagai pelaku utamanya.

Tanpa kehadiran ketiga-tiganya, Pancasila hanya akan jadi narasi kosong, wacana belaka tanpa tindakan nyata.

Oleh karena itu, perayaan Hari Lahir Pancasila adalah momen yang pas untuk melaksanakan introspeksi serius: sampai seberapa jauh kita telah menganggap Pancasila sebagai fondasi dalam kehidupan bermasyarakat, bukannya hanya teks konstitusi belaka?

Apabila Pancasila hanya dipakai sebatas alat retorika saja, tanpa didukung oleh pemahaman etika dan praktik demokrasi sungguhan, hal tersebut bisa membuatnya makin lepas dari kehidupan rakyat yang sesungguhnya sangat mengharapkannya.

Sebaliknya, bila Pancasila diberdayakan menjadi solusi untuk mengatasi krisis budaya dalam demokrasi dengan menentang kekangan oligarki, mendorong tata kelola publik yang beretika, serta meningkatkan partisipasi warga negara, maka bukan saja kita menyambut ulang tahun suatu paham politik, melainkan juga merayakan kemunculan harapan segar bagi Indonesia yang lebih adil, terbuka, dan sesuai hak asasi manusia.

Perlu ditekankan bahwa merayakan kelahiran Pancasila bukan berarti menambah ritual atau menggandakan spanduk tentang Pancasila, tetapi lebih kepada membentuk kembali semangat demokratis yang progresif.

Demokrasi bukan hanya tentang aturan-aturan, melainkan berani memberikan tempat bagi suara-suar yang terpinggirkan.

Dalam kerangka NTT, demokrasi Pancasila yang sejati perlu berakar dari lapisan bawah: mulai dari kampung-kampung, masyarakat tradisional, dan seterusnya.

Oleh karena itu, dibutuhkan tiga tahap: 1) Pemerintah perlu memastikan terpenuhinya hak asasi manusia sebagai landasan munculnya etika dalam kehidupan publik.

Tanpa adanya listrik, pendidikan, atau air yang layak, warga negara akan kesulitan untuk memahami nilai-nilai tersebut. 2) Pembangunan proyek sebaiknya mencakup partisipasi masyarakat mulai dari tahap perancangan, tidak hanya sebagai subjek program saja. Tempat diskusi tradisional dapat menjadi contoh dalam proses konsultasi demokratis.

3) Pendidikan perlu bersandarkan pada realitas, sesuai dengan kondisi setempat, serta berbasis diskusi. Legenda masyarakat, cerita hidup nyata, dan kebijaksanaan tradisional dapat dijadikan bahan belajar untuk mengembangkan lebih jauh nilai-nilai Pancasila. (*)

Simak terus berita di Google News

GDesain

Website Berbagi desain gratis terlengkap. Juga menyediakan Jasa Desain Murah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama