Sunnah dan Hara Hachi Bu: Kunci Sukses Merayakan Idul Adha

Idul Adha tiba setiap kali dengan kedua hal ini yang sangat banyak: keikhlasan serta daging. Perayaan ibadah qurban membawa pelajaran tentang pengorbanan, empati, dan penyebaran ketertiban dalam pembagian makanan. Tetapi dibalik itu semua, ada sebuah paradoks musiman yaitu rasa gembira akibat konsumsi berlebihan. Saat daging Idul Adha menumpuk di rumah-rumah, beberapa orang justru tenggelam dalam perayaan kadar lemak tinggi tersebut daripada merenung atas makna rohaninya.

Dalam waktu satu atau dua hari setelah acara kurban, dapur secara mengejutkan berubah menjadi pusat pengolahan daging. Berbagai hidangan seperti sate, gulai, tongseng, sup iga, sampai rendang tersebar di atas meja makan. Namun sayangnya, seiring dengan itu semua datang pula beberapa masalah seperti gangguan pada sistem pencernaan, peningkatan tekanan darah, dan remisi penyakit asam urat. Kenyamanan saat menyantap makanan pun akhirnya bisa berbalik arah menjadi hal negatif. Pada titik ini penting bagi kita untuk memahami makna dari Idul Adha lebih lanjut: bukan hanya tentang prosesi pemotongan hewan dan merayakannya melalui makanan, namun juga mengenai kontrol terhadap diri sendiri serta kesadaran akan kondisi fisik kita.

Dalam rangkaian kebiasaan makannya yang istimewa, terdapat dua pendekatan gaya hidup sehat yang layak untuk diadopsi: pola makan seperti diajarkan oleh Rasulullah SAW sebagai contoh sunnah, serta filsafat pemesanan makanan dari Jepang bernama Hara Hachi Bu. Walaupun memiliki asal-usul budaya yang berlainan, kedua metode tersebut menyampaikan pelajaran serupa tentang pentingnya hanya memakan cukup saja tanpa berlebihan.

Perut: Area Ibadah yang Kerap Dilupakan

Rasulullah SAW menyatakan dengan tegas, "Tiada tempat yang lebih hina daripada isi perut manusia." (HR. Tirmidzi). Pada kehidupannya sehari-hari, baginda Rasul hanya memakan sesuai kebutuhan. Makanan utama beliau terdiri dari kurma, susu, biji-bijian, serta air. Daging tidak menjadi santapan harian. Meski dalam situasi kelaparan, beliau masih menjunjung tinggi sikap sederhana. Pendapatannya pun tak berubah: makanlah cukup sebagai pelayanan pada tubuhmu, bukannya menciptakan gaya hidup untuk alasan makan semata.

Bila kita tinjau dari segi nutrisi modern, cara makan Nabi terbukti sangat fleksibel. Ia menyarankan bagiannya menjadi tiga bagian: satu pertiganya untuk makanan, satu pertiganya lagi untuk minuman, dan sisanya dikosongkan untuk bernapas. Ini bukan sekadar kiasan, melainkan petunjuk nyata supaya tubuh tidak dibebani berlebihan. Memakan daging secara ekstra, terutama jenis dengan kadar lemak jenuh tinggi, bisa menyebabkan peradangan, hipertensi, serta masalah metabolisme lainnya.

Pada satuujuk akhir dunia, penduduk Okinawa-Jepang mengikuti prinsip Hara Hachi Bu dalam pola makannya. Ini berarti mereka hanya memakan hingga delapan puluh persen dari kemampuan perut mereka. Dengan cara ini, mereka berakhir sebelum benar-benar terisi sepenuhnya, sehingga memberikan ruang bagi tubuh untuk mencerna dan secara bertahap menyampaikan rasa kenyang tersebut. Akibat positifnya luar biasa; Okinawa dikenal sebagai daerah dengan angka harapan hidup tertinggi global serta insiden penyakit jangka panjang yang amat minim.

Pemikiran Jepang ini memiliki kemiripan dengan prinsip Sunah Rasul. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya kontrol diri, kedisiplinan, serta rasa hormat pada tubuh. Perbedaannya adalah bahwa salah satunya datang dari warisan budaya setempat yang telah diturunkan secara generasi demi generasi, sementara yang lain berasal dari wahyu Ilahi. Meskipun demikian, kedua konsep tersebut bersatu dalam satu pesan universal: makanlah dengan penuh kesadaran, bukannya tanpa batas atau kecanduan.

Daging: Rezeki atau Ujian?

Daging kurban merupakan suatu bentuk rejeki. Namun bagaimana kita menghadapinya dapat menjadi sebuah ujian. Dari sudut pandang positif, hal ini memberi kesempatan baik untuk menambah konsumsi protein keluarga, khususnya bagi mereka yang jarang memakannya. Tetapi apabila tidak diatur dengan benar, penggunaanya berlebihan bisa saja membawa dampak buruk dalam masalah nutrisi.

Memasak daging menggunakan minyak bekas, menghidangkan santan kental, atau menyajikannya tiga kali dalam sehari dengan porsionasi besar tentu bukan cara untuk bersyukur. Ini hanyalah wujud keserakahan yang disembunyikan. Sebenarnya, hari raya Idul Adha harus diartikan sebagai momen penyempurnaan rohani, tidak sekadar memanjakan perut.

Di praktek Hara Hachi Bu yang ada di Jepang, orang-orang umumnya hanya memilih sedikit dari sebuah mangkuk berisikan nasi, dua jenis sayuran, serta satu sumber protein dengan kadar lemak rendah contohnya adalah ikan ataupun tahu. Proses makannya juga dilakukan secara pelan-pelan hingga mereka merasa cukup sebelum betul-betul terasa sangat kenyang. Di sisi lain, kita cenderung menumpahkan piring sampai penuh dengan nasi dan lauk pauk tanpa adanya campuran sayuran sebagai penyempurna, selanjutnya dimakankan dengan tempo yang cepat.

Meskipun begitu, dari segi nutrisi, tubuh kita memerlukan serat, vitamin, serta antioksidan yang terkandung di dalam sayuran dan buah-buahan agar dapat mendukung proses metabolisme lemak hewani pada daging merah. Jika tidak ada pemasukan zat-zat tersebut dengan proporsi tepat, tubuh harus bekerja ekstra keras saat mencerna lemak dan kolesterol, hal ini jika dilakukan dalam waktu lama bisa meningkatkan risiko peradangan jangka panjang.

Sebaiknya semangat Idul Adha tidak hanya digunakan untuk menyimpan daging dalam lemari es, melainkan juga memacu kita untuk berbagi lebih banyak lagi. Waktu ini dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan pendidikan bagi keluarga Anda: bahwa kebugaran merupakan elemen dari keyakinan Islam, serta makannya yang cukup termasuk dalam praktik ibadah. Dengan demikian, orang tua dapat mendoktrin anak-anak mereka tentang cara hidangan Nabi Muhammad SAW terbatas, puas makan bukan indikator utama kebahagiaan, dan penting menjaga badan tak sekadar lewat doa tetapi pula pola hidup.

Memantau asupan daging merupakan salah satu kewajiban. Ini mencerminkan kesetiaan kita pada penerapan ajaran "wasathiyah" atau menjalani kehidupan secara seimbang di semua bidang, seperti jenis makanan yang dikonsumsi. Dalam zaman saat ini dimana penyakit non-menular malahan meningkat akibat pola makan, pendekatan moderasi yang diajarkan agama Islam harus menjadi panduan utama dan tidak boleh terlupa.

Kini, di tengah lonjakan kasus obesitas, hipertensi, dan diabetes, nilai-nilai makan secukupnya dari Rasul dan Hara Hachi Bu dari Jepang seharusnya menjadi inspirasi. Bahwa makan bukan sekadar urusan perut, tapi juga urusan akhlak.

Idul Adha kali ini dapat mengubah paradigma kita. Berpindah dari pola makan yang tidak terkendali menuju gaya hidup makannya lebih bijaksana. Beralih dari membekukan sebanyak-banyaknya bahan pangan menjadi memperhatikan betul apa saja yang benar-benar dibutuhkan. Mengurangi sifat serakah dan mulai mencapai keseimbangan dalam segala hal. Sebab pada dasarnya, perut adalah organ yang harus dirawat dengan baik daripada dimanjakan berlebihan.

GDesain

Website Berbagi desain gratis terlengkap. Juga menyediakan Jasa Desain Murah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama